Pandangan Kedua: Minimalisme mendukung kesederhanaan tetapi membungkam semangat budaya dan pribadi


Posting ini diperbarui 23 Februari pukul 20:03

Pejuang minimalis menahan diri namun tetap bersikap keras.

Minimalisme, yang sering digembar-gemborkan sebagai puncak kecanggihan estetika, telah lama menentukan tren dalam desain, mode, dan, pada akhirnya, gaya hidup. Didefinisikan oleh penekanannya pada penataan, penyederhanaan, dan pengurangan pada apa yang disebut “hal-hal penting,” minimalisme menjanjikan kejelasan dan keteraturan.

Tapi berapa biayanya?

Gerakan ini, dalam banyak hal, telah melucuti ekspresi estetika pribadi individu, memaksa mereka untuk menyesuaikan diri dengan gaya hidup yang mengutamakan ketidakhadiran daripada kehadiran. Meskipun gerakan ini mempunyai kelebihan, ada baiknya mempertimbangkan kendala yang ditimbulkannya terhadap individualitas dan argumen untuk maksimalisme sebagai alternatif.

Kurang dari satu dekade yang lalu, media sosial mendorong minimalisme menjadi arus utama. Maraknya influencer yang menampilkan interior putih bersih dan lemari pakaian tanpa warna memberi jalan bagi pergeseran budaya yang mengasosiasikan kelebihan dengan kekacauan. Popularitas filosofi merapikan dari guru Marie Kondo dan meluasnya penerapan estetika “less is more” memperkuat keyakinan bahwa minimalis adalah standar utama selera yang baik. Estetika ketiadaan menjadi aspiratif, dan penghapusan kelimpahan visual disamakan dengan kehidupan yang disiplin dan terkurasi dengan baik. Bagi banyak orang, ini bukanlah pengalaman yang membebaskan – ini adalah pembatasan ekspresi diri.

Penerapan minimalisme mempunyai kelemahan yang signifikan. Dalam upayanya untuk menyederhanakan, gerakan ini sering kali mengabaikan pentingnya sentimentalitas, sejarah pribadi, dan warisan budaya. Pusaka, barang koleksi, dan pilihan desain yang berani dipandang sebagai sesuatu yang berantakan dan bukan ekspresi identitas yang bermakna. Minimalisme berasumsi bahwa ruang kosong secara inheren lebih unggul daripada ruang terisi, namun bagi banyak orang, maksimalisme – sebuah estetika yang mencakup kelebihan, warna-warna berani, dan perpaduan objek yang eklektik – memberikan cerminan kepribadian dan pengalaman hidup yang lebih otentik.

[Related: Winner Takes All: The boldest, most creative runway collections of winter, fall fashion]

Kritik terhadap minimalis berpendapat bahwa gerakan ini tidak hanya membatasi secara estetis tetapi juga eksklusif. Kaitan minimalis dengan merek-merek mewah dan desain kelas atas berarti bahwa minimalis sering kali diperuntukkan bagi mereka yang mampu membuat kesederhanaan terlihat mahal. T-shirt putih “sempurna” seharga $100 sulit didapat, dan loteng yang layak untuk Instagram dan jarang dilengkapi perabotan tidak mewakili cara hidup kebanyakan orang. Selain itu, penolakan gaya minimalis terhadap elemen hiasan atau dekoratif sering kali menghapus estetika budaya yang berkembang dalam semangat dan detail, sehingga memperkuat gagasan keindahan yang berpusat pada Barat.

Maksimalisme memungkinkan apresiasi yang lebih besar terhadap keahlian dan warisan budaya. Banyak praktik artistik tradisional mengandalkan pola detail, warna yang kaya, dan hiasan hiasan – elemen yang sering dianggap “terlalu berlebihan” menurut standar minimalis. Sebaliknya, maksimalisme merangkul detail-detail ini dan mengangkatnya sebagai komponen penting dari keindahan dan ekspresi diri. Entah itu sulaman rumit dari huipil Meksiko, ubin arsitektur Maroko yang semarak, atau pola rumit sari Asia Selatan, maksimalisme mengakui bahwa kekayaan budaya terletak pada kelebihan dan bukan pada pengekangan.

Bahkan dalam dunia fesyen, gaya minimalis telah mendorong agenda netralitas – warna-warna kalem, garis-garis bersih, dan penolakan terhadap pola-pola berani. Meskipun estetika ini mungkin menarik bagi sebagian orang, hal ini mengabaikan fakta bahwa pakaian sering kali merupakan bentuk ekspresi diri. Meningkatnya kebangkitan fesyen maksimalis – pikirkan tentang pelapisan yang mewah, motif yang bentrok, dan potongan pernyataan – menandakan pemberontakan terhadap standar minimalis yang membatasi.

[Related: Second Take: Lookalike contests bring social connections offline, demystify celebrity beauty]

Selain estetika, maksimalisme juga menumbuhkan pola pikir berkelimpahan, bukan kelangkaan. Minimalisme sering membingkai harta benda sebagai beban, menganjurkan penghapusan segala sesuatu kecuali yang penting. Perspektif ini mungkin memberikan kebebasan bagi sebagian orang, namun membatasi bagi sebagian lainnya. Sebaliknya, maksimalisme mendorong apresiasi terhadap hal-hal yang kita miliki, memandangnya bukan sebagai sesuatu yang berantakan tetapi sebagai bagian integral dari kehidupan kita. Alih-alih menyederhanakannya hingga ke tingkat minimum, maksimalisme mempromosikan gagasan bahwa mengelilingi diri dengan benda-benda yang dicintai bisa sangat memuaskan.

Intinya, minimalisme, meski diutamakan karena kesederhanaannya, bisa jadi menyesakkan, bukannya membebaskan. Gagasan bahwa keindahan hanya ada di ruang kosong dan palet monokrom mengabaikan kegembiraan yang bisa ditemukan dalam kelimpahan. Sebaliknya, maksimalisme mengajak individu untuk memanfaatkan seluruh potensi estetika mereka tanpa takut berlebihan. Daripada menganut ideologi yang mengharuskan kita untuk menahan diri, mungkin masa depan desain dan gaya hidup harus menggunakan pendekatan yang lebih personal dan tanpa hambatan – yaitu pendekatan yang memberikan ruang untuk segalanya dan tidak ada yang perlu dihapus.

Pada akhirnya, minimalisme mungkin telah membentuk estetika modern, namun tidak harus mendefinisikannya. Ketika masyarakat bergerak melampaui obsesi terhadap kesederhanaan, inilah saatnya untuk mengakui bahwa ada banyak keindahan – jika tidak lebih – dalam pelukan kelebihan yang tidak menyesal.

Maksimalisme membuktikan bahwa terkadang, lebih banyak berarti lebih banyak – dan itu adalah hal yang baik.



Pandangan Kedua: Minimalisme mendukung kesederhanaan tetapi membungkam semangat budaya dan pribadi